Makna Androginitas Pada Arca Harihara di Candi Simping

arca harihara candi simping

Salah satu wujud Harihara berbentuk arca batu yang ditemukan di Indonesia ada di Candi Simping atau candi Sumberjati dengan ukuran tinggi 200 cm. Artefak arca Harihara di Candi Simping menurut kakawin Nagarakretagama pupuh 47:3 merupakan arca perwujudan dari Krtarajasa Jayawarddhana yang wafat pada 1231 Saka/1309 Masehi dan dicandikan di desa Simping yang sekarang bernama Dusun Krajan, Desa Sumberjati, Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar, Indonesia.

Dalam bahasa sansekerta istilah arca berarti perwujudan jasmani, yaitu perwujudan dari seorang dewa yang disembah para penganutnya untuk tujuan pemujaan. Di Indonesia seorang raja yang telah wafat, misalnya, akan diarcakan dalam wujud salah seorang dewa dari agama yang dianutnya semasa hidup. Arca Harihara merupakan wujud perwakilan dari penggabungan sifat dewa besar dalam agama Hindu yaitu dewa Siwa dan Wisnu dalam satu wujud. Juga dikenal dengan sebutan Shankaranarayana.

Arca Harihara dari Candi Sumberjati berdiri tegak dan dalam posisi statis sehingga memperkuat penelitian yang selama ini dilakukan oleh para ahli bahwa arca tersebut merupakan arca perwujudan. Karakteristik dari arca perwujudan dicirikan dengan wujud seorang raja atau tokoh yang telah wafat. Raja tersebut diarcakan berdasarkan dewa yang dianutnya semasa dia hidup. Selain itu arca digambarkan bertangan empat, tangan kanan atas memegang sangkha serta tangan kanan depan memegang tasbihPada bagian tangan kiri atas digambarkan arca Harihara memegang cakra yang diletakkan horisontal di atas jari telunjuk, di atas cakra tergambar api dan pada tangan kiri depan memegang gada. Berdasarkan karakteristik arca Harihara candi Sumberjati maka Wisnu diwujudkan pada bagian kiri dan Siwa di kanan.

Perwujudan Kertarajasa sebagai Harihara tentunya mempunyai makna tersendiri yang dapat mewakili aspek legitimasi politik pada masa awal kerajaan Majapahit. Kertarajasa Jayawardana adalah raja pertama dan pendiri kerajaan Majapahit, dia memerintah dari tahun 1293-1350 Masehi. Pada masa Kertarajasa Jayawardhana memerintah terjadi ketidakseimbangan politik karena Majapahit merupakan kerajaan baru yang menggantikan kerajaan Singasari yang ditundukkan oleh Jayakatwang. Krtarajasa Jayawarddhana berjasa besar karena telah mendirikan Majapahit sekaligus menumpas pemberontakan Jayakatwang yang meruntuhkan kerajaan Singhasari dan membunuh raja Kertanegara. Jasa besar lainnya dari Krtarajasa Jayawarddhana adalah taktiknya dalam mengusir ekspansi pasukan Kubilai Khan yang memiliki ambisi untuk menaklukkan Jawa.

Sesuai dengan konsep kosmologi, raja yang dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia memegang otoritas politik tertinggi dan menduduki puncak hierarki kerajaan. Kertarajasa tentunya memerlukan legitimasi untuk menguatkan kedudukannya sebagai pemegang otoritas kekuasaan tertinggi di pemerintahan berdasarkan jasa-jasanya kepada masyarakat. Pada umumnya legitimasi politik dari raja dikaitkan dengan prasasti atau sumber tertulis.

Kajian Androginitas Arca Harihara Candi Simping

Kajian terhadap androginitas arca Harihara Simping sebagai perwujudan dari Krtarajasa Jayawarddhana, tidak dapat dilepaskan dari relasi seksualitas dan kekuasaan. Istilah mengenai androginitas dapat diartikan sebagai satu bentuk penolakan atas perbedaan seksual yang alamiah, ciri khas dari androgini adalah pengelabuan akan kebenaran seksual melalui gaya yang menciptakan bentuk-bentuk daya pikat seksual yang secara ekstrim disempurnakan dan direkayasa sehingga mengaburkan kategori-kategori seks yang normal, sesuatu yang paling indah dalam diri seorang pria adalah sesuatu yang feminin sedangkan sesuatu yang memikat dalam diri seorang wanita adalah sesuatu yang maskulin. Androgini tidak pernah merepresentasikan dirinya atau menjadi dirinya sendiri, dia selalu menjadi lebih dari dirinya sendiri.

Harihara merupakan representasi dari penggabungan dua dewa penting dalam Hindu yaitu Siva dan Visnu dalam satu tubuh.  Visnu (Hari) dan Siva (Hara) adalah pencipta alam semesta,  Dalam bentuk Harihara, Wisnu dipersamakan dengan karakter feminin sebagai simbol sakti atau kekuatan yang kemudian ditafsirkan sebagai pasangan hidup, sedangkan Siva adalah maskulin. Sosok dari Uma, Durga atau Dewi yang merupakan sakti dari Siva merupakan wujud dari bentuk feminin Wisnu, Durga dalam pengarcaannya menggunakan atribut sankha dan chakra yang telah menjadi karakteristik dari senjata Wisnu. Selain itu Wisnu juga merupakan pengganti dari sifat dewi pada Ardhanariswara. Aspek sifat antara Siva dan Visnu turut mendukung androginitas Harihara karena Siva dicirikan pada ciri khas maskulin yaitu agresi yang berkaitan dalam keberadaannya sebagai dewa perusak dan penguasa tertinggi. Sedangkan Visnu lebih dicirikan pada ciri khas feminin yaitu pemelihara dan penuh kasih, hal tersebut di dukung oleh keberadaan Visnu sebagai dewa pemelihara dunia.

Sesuai dengan konsep tentang kosmologi Hindu maka raja yang memerintah dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia. Raja mempunyai otoritas tertinggi dalam politik dan menduduki struktur tertinggi dalam hierarki kelas-kelas sosial yang pada masa Majapahit disebut dengan kasta. Meskipun, kasta tertinggi adalah brahmana namun kekuasaan raja tetaplah dominan dikarenakan dia adalah dewa yang turun ke dunia untuk memelihara dan melindungi dunia. Kedudukan dari raja diperoleh melalui hak waris secara turun-temurun sehingga keberadaan raja sebagai penjelmaan dewa lambat laun dimitoskan sebagai kekuasaan yang dipercaya melindungi kerajaan dari datangnya pralaya.

Info Artefak Nusantara lainnya: Peninggalan Arca Megalitik Pasemah

Kakanwin Nagarakertagama pupuh 47:3 menyebutkan bahwa Krtarajasa Jayawarddhana meninggal pada 1231 Saka atau 1309 Masehi. Krtarajasa Jayawarddhana dicandikan di desa Simping, Blitar dan diarcakan sebagai Harihara, persatuan antara Siva dan Visnu dalam satu tubuh. Alasan mengenai Krtarajasa Jayawarddhana diarcakan sebagai Harihara kemungkinan besar karena jasa-jasa sang raja sebagai pendiri kerajaan Majapahit. Prasasti Kudadu lempeng 1 baris 3 yang berangka tahun 1305 Masehi menyebutkan bahwa kerajaan Majapahit merupakan kelanjutan dari kerajaan Singhasari yang telah runtuh pada tahun 1292 Masehi oleh pemberontakan Jayakatwang.

Sebagai bukti kesetiaan Nararya Sanggramawijaya pada leluhurnya maka secara resmi dinasti raja yang dikepalainya bernama dinasti rajasa. Unsur kata yang membentuk Krtarajasa Jayawarddhana terdiri dari 10 suku kata yang dapat dipecah menjadi empat kata yaitu krta, rajasa, jaya, dan warddhana. Unsur dari krta mengandung arti bahwa dia telah memperbaiki pulau Jawa dari kekacauan yang ditimbulkan oleh penjahat-penjahat dan dia menciptakan kesejahteraan bagi rakyat setelah penjahat dapat dikalahkan. Oleh sebab itu, bagi rakyat, dia sama dengan matahari yang menerangi bumi.  Unsur rajasa mengandung arti bahwa dia mengubah suasana gelap menjadi suasana yang terang-benderang akibat kemenangannya terhadap musuh-musuhnya. Dengan kata lain hal tersebut menjelaskan bahwa dia merupakan penggempur musuh-musuhnya. Unsur jaya mengandung arti bahwa dia mempunyai lambang kemenangan berupa senjata tombak berujung mata tiga atau trisula yang merupakan atribut senjata dewa Siva, karena senjata dewa tersebut maka segenap musuh hancur lebur. Unsur warddhana mengandung arti bahwa dia menghidupkan segala agama yang ada dan melipatgandakan hasil bumi terutama padi demi kesejahteraan rakyat.

Keterangan dari prasasti Kudadu yang berisi keterangan nama abhiseka Krtarajasa Jayawarddhana yang dikeluarkan pada tahun 1305 oleh sang raja sendiri, telah menjelaskan adanya petunjuk awal mengenai pengarcaan Krtarajasa Jayawarddhana sebagai Harihara. Unsur krta dan wrddhana mewakili sifat-sifat dari Visnu yaitu pelindung dan pemelihara sedangkan rajasa dan jaya mewakili sifat-sifat dari Siva yaitu penggempur musuh dan perayaan kemenangan atas musuh yang disimbolkan dengan sejata trisula yang merupakan senjata Siva. Hal menarik lainnya yang patut untuk dicermati adalah mengenai krta dan matahari, sebagaimana yang diketahui dalam mitologi Visnu pada masa Veda atau pra Hindu, Visnu dikatakan mempunyai sifat sebagai matahari. Visnu dalam Veda mengelilingi dunia dengan trivikrama. Visnu merupakan dewa yang menjelma dalam tiga wujud yaitu api, halilintar dan sinar matahari, ketiga wujud ini menunjukkan tiga wujud perjalanan matahari yaitu terbit, mencapai cakrawala atau zenit dan terbenam.

Pendekatan semiotika komunikasi arca Harihara candi Simping

Penempatan Harihara sebagai perwujudan dari Krtarajasa Jayawarddhana tidak dapat dilepaskan dari bentuk kepribadian Krtarajasa Jayawarddhana berdasarkan prasasti Kudadu. Dengan mengacu pada peristilahan awal tentang androgini maka sesuatu hal yang terjadi dalam diri keperibadian Krtarajasa Jayawarddhana merupakan hal yang relatif biasa terjadi pada manusia dan bahkan tidak menutup kemungkinan pada kedudukan manusia yang merupakan keturunan dewa yang terlahir ke dunia seperti Krtarajasa Jayawarddhana.

Untuk menjelaskan arca Harihara candi Simping dari sudut pandang semiotika digunakan pendekatan semiotika komunikasi. Semiotika komunikasi adalah semiotika yang menekankan aspek produksi tanda daripada sistem tanda. Semiotika komunikasi mengkaji tanda dalam konteks komunikasi yang lebih luas, yaitu turut pula melibatkan berbagai elemen komunikasi. Peirce melihat tanda (representamen) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari objek referensinya serta pemahaman subjek atas tanda (interpretant).

Peran subjek pada semiotika komunikasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pertandaan, yang menjadi landasan utama bagi semiotika komunikasi. Dalam semiotika komunikasi, tanda atau signal ditempatkan di dalam rantai komunikasi sehingga mempunyai peran yang penting dalam komunikasi. Bagian yang tidak dapat dipisahkan dari semiotika komunikasi adalah mengenai model triadic Peirce yaitu acuan atau representamen + objek + konsep pengertian atau interpretan = tanda. Tanda dalam pandangan Peirce selalu berada dalam proses perubahan tanpa henti yang disebut proses semiosis tidak terbatas, yaitu proses penciptaan rangkaian interpretan yang tanpa akhir.

Androginitas dalam seni arca Harihara merupakan bentuk ars eroticaArs erotica menyebutkan bahwa kebenaran diperoleh dari kenikmatan itu sendiri, dianggap sebagai praktik dan dipetik sebagai pengalaman. Kenikmatan diperhitungkan bukan dalam kaitan dengan hukum mutlak tentang yang boleh dan yang dilarang, juga bukan dengan mengacu pada kriteria kegunaan, melainkan pertama-tama dengan mengacu pada dirinya sendiri, kenikmatan dikenali sebagai kenikmatan. Dari ars erotica tersebut dampak yang menarik adalah individu akan memperoleh kekuasaan mutlak atas tubuh, kepuasan yang tak ada taranya, melupakan waktu, peniadaan kematian dan ancaman-ancamannya.

Melalui definisi ars erotica yang dikemukakan oleh Foucault dapat dikenali bahwa androginitas arca Harihara sebagai perwujudan dari Krtarajasa Jayawarddhana lebih ditekankan pada pemaknaan tentang pemimpin yang utama sebagai wujud dewa yang terlahir ke dunia. Posisi peran gender sang raja tentunya harus dibagi secara seimbang untuk menjaga kosmologi alam semesta, sisi feminin dan maskulin tetaplah harus diatur sedemikian rupa untuk tetap menjaga kekuasaan yang mutlak atas kepuasan akan peniadaan kematian serta kenikmatan tanpa batas menjadi titisan dewa yang berkuasa mutlak secara politis.

Penutup

Dalam awal telah dijelaskan serangkaian pembahasan mengenai arca Harihara dari Simping sebagai perwujudan Krtarajasa Jayawarddhana dan kaitannya dengan androginitas. Krtarajasa Jayawarddhana dalam perwujudannya sebagai arca Harihara mempunyai banyak persamaan karakteristik dengan Ardhanarisvaramurti yang merupakan makna dari wujud untuk menjaga keseimbangan tataran kosmologis.

Bentuk androgini merupakan suatu pengkaburan terhadap kategori-kategori seks yang normal untuk menunjang pembagian gender secara wajar. Penyatuan dewa-dewi dalam satu bentuk tubuh merupakan hal yang wajar. Hal tersebut diperlukan dalam menjaga keseimbangan kosmos sehingga dominasi kekuatan dapat dicegah untuk memberikan kesempatan kekuatan lain yang setara untuk bersama-sama melakukan harmonisasi alam semesta.

Akan tetapi, relasi kuasa pada masa pemerintahan Krtarajasa Jayawarddhana terlihat jelas pada androginitas Harihara candi Simping. Hal itu dapat diketahui dari kajian terhadap prasasti Kudadu yang menyebutkan bahwa pada masa Krtarajasa Jayawarddhana berkuasa telah terjadi pembagian sifat maskulin dan feminin pada diri Krtarajasa Jayawarddhana untuk menjaga keberlangsungan Majapahit yang baru berdiri.

Bukti dari isi prasasti menyebutkan bahwa Krtarajasa Jayawarddhana merupakan pendiri kerajaan yang sewaktu-waktu kedudukannya sebagai raja dapat terancam sehingga Krtarajasa Jayawarddhana memproklamirkan bahwa kerajaan yang dipimpinnya adalah keberlanjutan dari kerajaan yang telah runtuh pada masa sebelumnya yaitu Singhasari. Selain itu, setelah dikaji dengan pendekatan semiotika Peirce, Krtarajasa Jayawarddhana sebagai pendiri kerajaan Majapahit juga mempunyai unsur-unsur yang terdapat dalam kategori sifat Visnu dan Siva sehingga wujud Krtarajasa Jayawarddhana dalam arca Harihara bukanlah bentuk penyimpangan peran gender maskulin dan feminin tetapi hal itu lebih kepada keseimbangan fungsi gender untuk menjaga harmonisasi kerajaan Majapahit yang baru dibangunnya.

Daftar Pustaka

  • Ayatrohaedi, dkk. (1978). Kamus Istilah Arkeologi. Jakarta.
  • Bernet Kempers, A. J. (1959). Ancient Indonesian Art. Amsterdam: C. P. J. Van der Peet.
  • Djafar, Hasan. (2009). Masa Akhir Majapahit; Girindrawarddhana dan Masalahnya. Depok: Komunitas Bambu.
  • Eco, Umberto. (1976). A Theory of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press.
  • Fontein, dkk. (1990). The sculpture of Indonesia. Washington: Editors Office, National Gallery of Art.
  • Foucault, Michel. (2008). La Volonte de Savoir Historie de la Sexualite, Ingin tahu Sejarah Seksualitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
  • Maulana, Ratnaesih. (1997). Ikonografi Hindu. Jakarta: Fakultas Sastra UI.
  • Muljana, Slamet. (2009). Tafsir Sejarah Negarakretagama. Yogyakarta: Lkis.
  • Munandar, Agus Aris. (2010). Gajah Mada: Biografi Politik. Depok: Komunitas Bambu.
  • Noth, Winfried. (1995). Handbook of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press.
  • Piliang, Yasraf Amir. (2003). Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra
  • Rahardjo, Supratikno. (2002). Peradaban Jawa: Dinamika Pranata Politik, Agama, dan Ekonomi Jawa Kuno. Jakarta: Komunitas Bambu
  • Sahai, Bhagawant. (1975). Iconography of Minor Hindu Buddhist Deities. New Delhi: abhinav Publications.
Anda telah membaca artikel tentang "Makna Androginitas Pada Arca Harihara di Candi Simping" yang telah dipublikasikan oleh Lentera Budaya. Semoga bermanfaat serta menambah wawasan dan pengetahuan. Terima kasih.

You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *