Penerapan Asas Maritime Cabotage di Indonesia

maritime cabotage

Angkutan laut adalah metode angkutan yang paling efektif, efisien dan ekonomis untuk mengangkut barang-barang komoditas perdagangan dalam jumlah besar. Kenyataannya, 90% komoditas perdagangan internasional diangkut melalui jalur laut. Fakta bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.508 pulau. Namun sayang sekali, potensi kelautan yang dimiliki Indonesia belum dimanfaatkan dengan maksimal.

Dengan kondisi geografis yang demikian, dapat dipastikan bahwa pengangkutan laut di Indonesia memainkan peranan vital baik dalam transportasi penumpang, maupun dalam proses distribusi barang di dalam negeri.

Asas Maritime Cabotage

Asas maritime cabotage pada intinya adalah memberikan hak khusus bagi negara yang memberlakukannya untuk melarang kapal berbendera asing melayani rute pelayaran dalam negeri dari satu titik ke satu titik lainnya dalam wilayah perairan teritorialnya.

Sebagai contoh, jika Indonesia menerapkan asas ini, maka pengangkutan laut di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya menuju ke pelabuhan Trisakti di Banjarmasin harus menggunakan kapal berbendera Indonesia. Jika asas ini berhasil diterapkan secara konsisten, maka secara otomatis pelayaran di dalam negeri suatu negara akan dikuasai oleh armada angkutan laut nasional negara tersebut.

Pada dasarnya, asas maritime cabotage sendiri telah berlaku di Indonesia sejak masa penjajahan Belanda. Beberapa peraturan perundang-undangan yang pernah memberlakukan asas ini diantaranya adalah Indische Scheepvaartswet tahun 1936 yang tetap berlaku di Indonesia sampai dengan diberlakukannya UU nomor 20 tahun 1992.

Pada masa berlakunya Indische Scheepvaartswet tahun 1936 tersebut, kapal-kapal asing bisa berlayar di Indonesia dengan dioperasikan oleh perusahaan pelayaran dalam negeri melalui pengajuan dispensasi syarat bendera, atau yang biasa disebut dengan DSB.

Pada saat dikeluarkannya paket deregulasi dibidang pelayaran pada 21 November 1988, atau yang biasa dikenal dengan pakno 21 November 1988, kapal-kapal asing bisa melayari rute dalam negeri asalkan dioperasikan oleh perusahaan pelayaran dalam negeri dan DSB tersebut tidak harus diajukan setiap kali kapal tersebut hendak berlayar melayari rute dalam negeri.

Dengan keadaan tersebut, maka bisa dipastikan banyak sekali kapal-kapal berbendera asing melayari rute dalam negeri di Indonesia pada masa tersebut. Angin perubahan atas kondisi tersebut berusaha ditiupkan oleh UU pelayaran yang baru, yaitu UU no. 17/2008 tentang pelayaran.

Pada UU yang baru ini, asas maritime cabotage dijadwalkan untuk mulai diterapkan secara efektif dan konsisten pada tanggal 7 Mei 2011, yaitu tepatnya tiga tahun sejak diberlakukannya UU tersebut. Diharapkan mulai saat itu, berdasarkan isi pasal 8 ayat 1, kegiatan angkutan laut dalam negeri harus dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional, dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki oleh awak kapal berkebangsaan Indonesia.

Oleh karena itu, dengan membentuk suatu legal framework yang baru bagi penerapan prinsip maritime cabotage di Indonesia, sehingga ada suatu sinkronisasi antara peraturan perundang-undangan, kebijakan, dan praktek penerapan asas ini di lapangan. Sinkronisasi ini sangat penting sekali untuk menjamin terlaksananya asas ini dengan baik di Indonesia.

Harapan bahwa asas maritime cabotage ini dapat dilaksanakan secara konsekuen di Indonesia penting sekali untuk memperlancar arus perdagangan dalam negeri melalui jalur laut. Hal ini penting sekali untuk memperlancar arus perdagangan dalam negeri melalui jalur laut.

 

Penerapan Asas Maritime Cabotage di Indonesia

You May Also Like

About the Author: Kanal Pengetahuan

Kanal Pengetahuan merupakan media diseminasi (dissemination) yaitu penyebaran informasi dan pengetahuan kepada publik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *